Mendung terbawa angin pagi yang lembut membasuh lembut wajah Abid yang bercahaya. Dilereng gunung Slamet, seseorang dengan mata yang dilingkari warna hitam pucat menandakan tak sekali dua dia tak memicingkan mata sekedar untuk tidur karena dzikrulloh yang mendalam. Tubuh yang kurus tanda puasa bertahun-tahun tak putus-putus dibalut jubah putih yang penuh tembelan jahitan. Bukan karena sudah tua sekali bajunya itu melainkan karena dikoyak dan dirobek sahabat-sahabatnya sesama penempuh hidup mulia. Hidup mulia, karena menempuh jalan Tuhan.

Dapat dipastikan mushola disamping rumah Abid tak pernah benar-benar sepi. Karena jika siang akan digunakan Abid untuk solat dhuha sebelas rakaat ditambah doa yang panjang dan mendalam. Sambil menunggu dzuhur, Abid membaca Al-Qur’an berjuz-juz. Sehingga tak perlulah butuh waktu lama untuk membaca kitab suci itu, cukup tiga hari paling lama bagi Abid. Setelah dzuhur dirangkai dengan dzikir yang bermacam-macam, ada dzikir fida’, nafi isbat, ismuzat, atau lataif sampai asar. Setelah asar giliran Abid membaca surat al-waqi’ah fadilah, disebut fadilah karena ditambah doa-doa dari Rosul Muhammad dan doa yang diajarkan Sulthonul Auliya Syeikh Abdul Qodir Al-Jailani ra, sebanyak empat puluh satu kali tanpa bergeser seincipun dari tempat duduknya.

Menjelang maghrib sang istri datang membawa nasi dan air putih untuk berbuka suaminya, ya, hanya nasi dan air putih karena dia puasa mutih. Berbukalah dia dan solat maghrib dilanjutkan dengan solat tsubutul iman, solat hajat, solat tasbeh dan solat-solat yang lain, sambil berdoa keras-keras

            “saaltuka ya ghoffar afwan wa taubatan, wa bil qohri ya qohhar khudz man takhaiyyala”

Terus doa itu ia latunkan sampai adzan isya terdengar. Setelah isya giliran ribuan solawat dalam dalailul khairat yangmenyibukannya ditambah ribuan dzikir-dzikr lain sampai pagi. Sampai istrinya datang lagi membawa nasi dan air putih untuk sahur.

Kawan, jika kau lihat wajahnya, masyaallah, kau seakan melihat matahari karena saking putih bercahayanya. Di jidatnya berwarna coklat memanjang tanda ahli sujud, kakinya bengkak dan abuh karena terlalu lama berdiri dalam solatnya.

            “Kang, si Aulia sakit, badannya panas dingin” istrinya memberanikan diri mengganggu bacaan surat al-waqiah suaminya.

Sebenarnya Abid ingin cepat-cepat bertanya sakit apa anaknya itu, tapi ia urungkan. Waqiah fadilah tak boleh diputus dengan apapun. Bacaanya baru tiga puluh kali, jadi ia akan bertanya keadaan anaknya setelah sebelas kali lagi ia khatam surat al-waqiah dan doa-doanya.

Istri Abid duduk di belakang suaminya, dan menyadarkan kepala di punggung suaminya. Harum sekali baunya, minyak non alkohol yang ia belikan dulu di pasar. Ia tunggu sampai suaminya menyelesaikan bacaan al-waqiahnya. Tapi setelah ayat terakhir suaminya kembali membaca bismillahirrohmanirrohim dan mulailah dari ayat awal, kedua, ketiga dan seterusnya.

Istri Abid orang pesantren, dia paham sekali apa yang dibaca suaminya itu. Tapi, sekarang dia adalah istri yang sedang membutuhkan belaian suaminya untuk menguatkan hatinya, sekarang dia adalah seorang ibu yang anaknya sakit.

Sambil terisak dan berdiri dia bertanya kepada laki-laki di depannya

            “Kang, apa bolah saya cemburu dengan Allah?”

Ia cium kepala suaminya dan berlari pulang, nangis.

Dan Abid bergumam dalam hati

            “ya Robb, istri dan anak-anak adalah cobaan hidup dari dzikir kepada-Mu

Disore yang sama,

            “Mas, si Aulia sakit” istri adik Abid membuka percakapan dengan suaminya

            “sakit apa?” jawab Dunya, adik Abid, sambil memasukan motornya ke rumah. Dia baru saja pulang dari tokonya di pasar.

            “Nggak tau e mas. Ntar habis maghrib kita kesana yuk”

            “Boleh juga, aku mau mandi dulu” Dunya sambil membuka kancing bajunya.

            “Sudah jam lima seperempat mas, kalau mandi nanti asarnya habis lho. Solat dulu aja, ngejar wektu solat, setelah tu baru mandi. Tak siapke banyu anget sek”

Sambil tersenyum Dunya mengancingkan lagi bajunya. Bergegas ia ke kamar mandi mau wudhu,

            “Mas, pake sarung ini, siapa tahu celananya tadi kena najis di pasar”

Dunya menoleh ke istrinya, dan sekali lagi ia tersenyum.

Bu Hartati, ibu dua anak itu, melahirkan Dunya sebelas tahun setelah melahirkan Abid. Abid dididik ayahnya ketat, sejak kecil ia dibiasakan ibadah panjang-panjang. Kelas tiga SD ia dipindahkan ke pesantren,dan sudah lebih dari empat belas pesantren disinggahinya. Setiap pesantren ia ambil ilmu kiainya secara rakus, sehingga jadilah ia santri yang sangat mendalam ilmunya, baik ilmu syariah, ilmu thariqoh maupun ilmu hakikat. Ia sangat paham apa itu alam nasut, alam lahut, alam malakut. Ia sangat paham apa itu sabar, syukur, ridho dan qonaah. Sehingga setelah berusia hampir empat puluh tahun baru ia menikah, itupun karena dicarikan oleh pak kiainya.

Sedang ketika Dunya lahir, ayahnya meninggal ketika ia masih menetek bu Hartati. Sehingga pendidikan Dunya adalah kewenangan ibunya. Sebenarnya hidup Hartati cukup, tapi setelah suaminya meninggal, ekonominya kolaps. Sehingga Hartati mendidik Dunya sama ketatnya seperti suaminya mendidik Abid, ketat, agar Dunya berhemat menggunakan uang saku, terampil membajak di sawah, bisa memanjat kelapa, bisa mencari ikan di kali dekat rumahnya. Dunya setiap hari sebelum subuh harus mencari kangkung di kali, di cuci, diikat dan dimasukan dalam obrok agar ibunya bisa ke pasar pagi-pagi. Dan imbalannya adalah jam tujuh kurang seperempat ibunya pulag membawa tiga nasi bungkus, tiga karena satu untuk Hartati dan dua untuk Dunya yang setelah memasukan kangkung dia harus mengisi bak air, menjemur gabah, dan bersiap berangkat sekolah di SMK naik sepeda.

Dua bulan setelah Aulia sembuh dari sakit panasnya, lik Marid, tetangga Abid dan Dunya kecelakaan. Pendarahan. Celakanya, darahnya bergolongan AB. Stok PMI kecamatan habis. Di kabupatenpun stok darah AB tak ada. Biasanya ada pendonor, tapi itu tak pasti. Padahal lik Marid sudah pendarahan.

            “Wah, saya nggak tahu e pak dokter apa golongan darah warga saya” jawab pak RT ketika ditanya pak dokter di puskesmas

            “Pokoknya entah gimana caranya, bapak harus membawa satu orang saja yang bergolongan darah AB kesini, secepatnya” jawab dokter itu

            “Wah, gimana pak dokter?” jawab pak RT masih bingung

            “Bapak datangi rumah warga bapak satu-satu. Tanya! Cepet!”

            “Iya” pak RT dan anaknya berlari keluar puskesmas, naik angkot pulang.

Dirumah dia, mengumpulkan lima orang untuk menanyai apa golongan darah orang-orang di lingkungan RT-nya. Kalau perlu orang satu desa akan ia tanyai semua. Sebagai ketua RT, juga dengan jiwa “desa”nya yang memiliki perhatian sangat besar kepada orang lain membuat pak RT panik berlarian kesana kemari.

            “Mbakyu golongan darahe njenengan apa?” pak RT bertanya kepada istri Abid

            “Wah, saya ndak tahu pak RT. Ndak pernah di prisake, emang ada apa kok lari-lari gitu?”

            “Itu mbakyu, lik Marid kecelakaan, butuh darah. Eh, kalau suamimu golongan darahe apa?”

Istri Abid tampak bingung, tapi ia ingat suaminya juga pernah dibawa ke rumah sakit dan dikasih darah. Pasti ada keterangannya. Buru-buru dia berlari ke lemari membuka tumpukan kertas-kertas yang sudah lama sekali. AB!

            “AB pak RT, emang yang di cari apa?”

            “Alhamdulillah syukur gusti. Dimana suamimu sekarang?”

            “Di mushola. Itu lagi ngaji”

Pak RT berlari munuju mushola, tapi di kejar sama istri Abid.

            “Biar saya saja yang bilang ke kang Abid” istri Abid berlari masuk mushola

            “Oh, gitu ya? Ya ndak apa-apa, cepet ya” pak RT nunggu di luar

Istrinya melihat suaminya yang sedang solat dhuha, ia tunggu di belakangnya. Setelah salam istrinya mendekat

            “Kang, lik Marid kecelakaan, nyari orang yang golongan darahnya AB” pelan-pelan sekali istrinya bicara padanya

            “Aku lagi puasa. Jika aku donor darah, aku pasti disuruh makan, atau nanti malam saja”

            “kata pak RT harus sekarang”

            “Kang, kenapa buka sehari saja tak mau? Kasihan lik Marid” remuk rasanya hati istri Abid mendengar jawaban suaminya

            “Istriku, dengar ya. Yang bertanggung jawab di akhirat kelak atas keselamatanmu dari api neraka siapa? Lik marid? Bukan, tapi aku. Aku puasa sudah empat tahun, tinggal satu tahun lagi, jika aku buka, maka aku harus mengulang dari awal untuk lima tahun kedepan. Semua ini kulakukan karena “ku anfusakum wa ahlikum naroo”. Pasti si Dunya sama darahnya denganku, suruh dia saja” jawab Abid sambil berdiri dan takbiratul ikhram lagi.

Walau sakit hati istri Abid, dia menemui pak RT dengan wajah di ceria-ceriakan.

            “Maaf pak RT. Kang Abid lagi sakit, ndak bisa. Dunya saja, dia adiknya, kemungkinan besar dia juga AB” istri Abid berbohong, berbohong demi agar suaminya bisa beribadah.

            “Oh, kalau saudara sama ya?”

            “Kemungkinan besar”

            “Kalau gitu saya ke rumah Dunya sekarang”

Pak RT berlari kerumah Dunya yang hanya berbatasan pagar saja dengan rumah Abid. Sementara pak RT pergi, istri Abid menangis di kamarnya.

            “Duh Gusti, apa aku akan selamat dari neraka sendirian sedang tetanggaku sakit tak tertolong?”

Bukan sekali dua ini dia menangis seperti ini. Untuk makan sehari-hari, mereka mengandalkan dari sawah warisan orang tuanya. Itupun tak di garap sendiri, melainkan di garap orang lain dan dia menerima separuh dari hasil panen. Rumah ini pun milik orang tua Abid. Abid sejak sebelum menikah dulu memang sudah disibukkan dengan puasa-puasanya, satu tahunlah, tiga tahunlah, lima tahunlah, ngeblenglah, atau pati genilah. Ia tak paham.

Yang ia pahami, sebagai istri ia ingin seperti selayaknya istri-istri tetangganya, jalan-jalan ke pasar, makan bakso berdua, belanja, beli baju bareng. Atau lebih sederhana dari itu, ia sangat ingin sekali saja suaminya membantunya memasak, mencuci, atau sekedar mengobrol di beranda rumah berdua. Tak pernah. Suaminya tak pernah bekerja, ia hanya berkata

            “Dunia ini hina, kau harus tahu itu. Ia adalah halangan seseorang mencapai surga.  Sawah dua hektar peninggalan ibuku ini cukuplah untuk makan sampai panen berikutnnya”

Untuk kebutuhan biologisnya, suaminya hanya akan datang malam jum’at. Karenanya sering ia berpuasa untuk menunggu malam jum’at. Itupun pasti diselingi dengan ucapan dingin.

            “Malam jum’at. Marilah kita ibadah, pahalanya seperti berperang membunuh seratus orang musuh Allah”

Sangat dingin sekali. Tak ada kehangatan yang dirasakannya. Pernah ia bertanya setelah “ibadah membunuh seratus orang musuh Allah itu”

            “Kang, tidak pernahkah kau datang padaku karena kau kangen padaku?”

Suaminya hanya beristighfar tiga kali dan meninggalkannya, mandi dan kembali ke mushola.

            “Mas Dunya lagi di pasar pak RT, emang sih dia darahnya AB” jawab istri Dunya waktu pak RT mencarinya.

            “Kira-kira kalau disuruh ke puskesmas mau nggak ya?”

            “Saya usahakan dulu ya pak RT. Saya telfon dulu ke hape-nya”

Istri Dunya mengambil hape dan menelpon suaminya

            “Mas, lik Marid lagi di puskesmas. Dia butuh darah AB, mas ke puskesmas ya”

            “Aku lagi sibuk banget e dik, banyak banget yang beli” jawab Dunya sambil melayani pembeli, ia memiliki tiga toko sembako dan satu toko kain di pasar.

            “mas…”

            “Ntar sore deh, pulang dari pasar tak langsung ke puskesmas” Dunya sambil menjepitkan hapenya diantara telinga dan pundaknya, karena kedua tangannya sedang melayani pembeli

            “Sayang, ke puskesmas sekarang ya. Saya ke puskesmas sekarang bareng pak RT. Tokonya biar diurus sama pelayan dulu. Ya?” istrinya memaksa dengan nada manja

            “Tapi….” Dunya ragu

            “Yaaah, plis… tak berangkat sekarang ya. Tak tunggu di puskesmas masku ganteng” rayu istriya

            “Ah, kamu ini. Kalau udah kaya gini sih suruh mindahin gunung mau aku. Hehe… ya tak berangkat sekarang”

            “Yes… Matur nuwun masku, miss you” istinya menutup telfon sambil cekikikan sendiri, pipinya merah. Tak jauh beda dengan muka Dunya yang merah. Di goda begitu saja dia buru-buru menutup tokonya dan pergi ke puskesmas.

Langit berubah merah, matahari tak mampu lagi bersinar, dan kanan kiri hanya sepi dan sepi. Tanah itu seperti tanah kutukan. Datar melebihi kaca, tak ada pohon, tak ada air barang setetes. Bau kedurhakaan, bau kemarahan, bau penyesalan tergumpal-gumpal terbawa angin dan debu. Kosong. Sesaat kemudian satu persatu orang keluar dari dalam tanah seperti jamur, semakin lama semakin banyak dan penuh sesak dataran penuh kutukan sekaligus penuh rahmat itu. Matahari yang tadi sekarat dibangunkan. Di seret ke tanah itu. Tak tanggung-tanggung, jika kau disana, matahari bisa kau pegang hanya dengan mengangkat tanganmu saja. Semua berkumpul jadi satu. Semua yang dulu bernama manusia berjejal jelal, telanjang dan bisu.

Setelah itu lewatlah Jibril sang komandan para malaikat diikuti di belakangnya Izrail dan Mikail. Dan kemudian susul menyusul Isrofil yang kini sudah tak membawa terompet besarnya, tugasnya selesai. Malik dan Ridwan, masing-masing siap bertugas perdana. Para Nabi dan Rosul sibuk mondar-mandir mencari umatnya masing-masing. Para wali sibuk mencari keluarga dan para pengikutnya. Para ulama mencari muridnya. Mereka menggunakan sebaik-baiknya apa yang diberikan oleh Tuhan, syafaat.

Sisanya dan yang terbesar adalah pemandangan yang menyedihkan. Dimana mereka sekarat kepanasan, sekarat menunggu neraka, sekarat saat kitabnya diterima dari tangan kiri. Mungkin tak ada yang lebih sesak daripada sesaknya dada para pesakitan yang akan menerima hukuman, dan hukuman itu tak ada akhirnya, tak ada ujungnya.

Abid berada ditengah milyaran orang itu. Hatinya kuat dan yakin bahwa amalnya akan menyelamatkannya. Dia yakin kalau Tuhan akan segera melihatnya dan memberinya naungan agar tak kepanasan dan tak telanjang. Dia pun sudah melihat seorang laki-laki yang wajah dan tubuhnya bercahaya memberikan pertolongan sebaik-baiknya kepada umatnya. Dia masukan milyaran orang itu dibawah sorbanya, dan siapa saja yang sudah berlindung dibawah sorbanya akan menjadi sangat bahagia wajahnya dan diberi pakaian yang indah dan nyaman. Orang itulah yang waktu dulu seribu kali lebih ia sebut namanya. Nabi Muhammad SAW.

            “Ya Nabi, apa kau tak melihatku mati terpanggang disini?” runtuk Abid. Tubuhnya mulai kepanasan, keringat darahnya sudah mengucur deras.

            “Ya Nabi, akulah orang yang seribu kali lebih bershalawat untukmu setiap”

Laki-laki itu memandang Abid dan Abidpun tersenyum riang. Tapi laki-laki itu kembali sibuk memberi pertolongan kepada orang lain. Kecutlah lidah Abid. Urutan berapa aku dipanggil? Apakah masih lama? Aku sudah tak tahan lagi.

Ketika tubuhnya mulai melepuh, dia merintih kesakitan dilihatnya istrinya mendekat lelaki itu dan mendapatkan baju yang sangat indah dan nyaman.

            “Istriku, kau tak melihatku telanjang dan mati disini?”

Tapi yang dipanggil hanya tersenyum. Kemudian Dunya dan anak istrinya dipanggil oleh lelaki mulia itu.

            “Adik dan iparku, kalian keluargaku”

Sekali lagi mereka hanya tersenyum dan duduk ditempat yang sangat sejuk tak lagi mati gosong seperti dirinya. Akhirnya dia memanggil-manggil seluruh amal ibadahnya, puasanya, solatnya, dzikirnya. Sepi. Tak ada yang menjawab.

            “Nabiku, Rosulku kenapa kau tak menolongku?” Abid tersungkur mencari kaki lelaki mulia itu untuk diciuminya, tapi ia hanya mendapatkan tanah dan debu saja.

            “kenapa?”

Lelaki itu hanya terdiam dan memalingkan wajahnya yang bersinar dari arah Abid. Dia kembali sibuk memasukan orang-orang kedalam lindungannya. Dengan seputus-putus asanya orang yang putus asa Abid memanggil-manggil Tuhan yang sedang menyidang manusia dengan pengadilan-Nya.

            “Tuhanku-Tuhanku, kenapa Engkau tinggalkan aku mati disini?” Abid merintih kesakitan, sakit badannya tapi lebih sakit lagi hatinya. Dia merasa sudah di permainkan oleh Tuhan.

            “kenapa juga ketika AKU sakit kau tak datang menjenguku?” Tuhan akhirnya menjawab panggilan Abid.

            “KAU Tuhan, bagaimana bisa KAU sakit?” Abid heran setengah mati. Tak ada dalam kamus hidupnya Tuhan bisa sakit dan marah dia tak menjenguk.

            “ketika tetanggamu dan orang-orang disekitarmu sakit, AKU bersama orang itu, tapi kau tak peduli dengan-KU. Bagaimana nabiku tidak akan malu menolong orang yang tak mau menolong-KU”

Abid tertunduk lesu. Tapi kemudian dia teringat adiknya, dia akan protes kenapa adiknya bisa mendapat pertolongan.

            “bukankah KAU mengatakan segala sesuatu akan KAU balas jika ikhlas. Lihatlah adikku, Dunya, dia tidak ikhlas, dia hanya menuruti istrinya saja”

            “jika kau tenggelam, apakah kau akan melihat apakah orang yang menolongmu itu ikhlas atau tidak?”

Abid menangisi dirinya sendiri. Tak ada persiapan sedikitpun kalau dia akan tersia-sia di tanah terkutuk ini. Nabi yang mulia itu berkata padanya

            “cintamu pada ku dan Tuhanmu adalah cinta teoritis, cinta bayi. Kau rayu aku dan Tuhanmu tapi rayuanmu tak ada bedanya dengan rayuan gombal belaka. Cinta itu perlu bukti. Kau hidup di dunia, tapi cintamu cinta langit. Kau mencintai yang ada di langit tapi kau lupakan yang ada di bumi. Sedang adikmu mencintaiku dan Tuhanku dengan cinta ibu, cinta yang tak perlu dengan kata-kata gombal, yang langsung dibuktikan dengan merawat dan mendidik anaknya. Ibadahnya memang tak sempuna, tapi cintanya adalah cinta yang membumi. Ia cintai langit dengan cara mencintai yang ada di bumi”

Yogyakarta, 2 Oktober 2010